DENPASAR, balitourismnow.com – Penggemar sastra, mesti catat, Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) kembali digelar pada 29 Oktober – 2 November 2025. Festival sastra tahunan terbesar di Asia Tenggara ini menghadirkan 250 pembicara dari 20 negara.
Lebih dari 70 penulis, seniman, aktivis, akademisi, dan pegiat kebudayaan Bali akan meramaikan festival ini, berbagi panggung. Pembicara yang hadir dari berbagai negara, termasuk India, Australia, Kolombia, Turki, Swedia, dan Amerika Serikat.
“Tema tahun ini, ‘Aham Brahmasmi: I am the Universe,’ berasal dari konsep Sansekerta dalam kearifan Hindu kuno Brihadaranyaka Upanishad yang menekankan kesatuan antara manusia dan alam semesta,” kata Founder UWRF, I Ketut Suardana saat konferensi pers di Artotel Sanur, Rabu 15 Oktober 2025.
Acara ini juga menghadirkan narasumber yang akan tampil sebagai pembicara dalam UWRF tahun 2025. Mereka adalah Penulis dan pengajar asal Bali, Ni Nyoman Ayu Suciarti, penulis dan dosen sastra Jawa Kuno kelahiran Batur, Bangli, Jero Penyarikan Duuran Batur, dan Wayan Karja, penulis dan seniman Bali sekaligus mantan Dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Bali.
Suardana mengatakan, konsep tersebut mengingatkan kita bahwa potensi kreatif manusia sejatinya seimbang dengan kekuatan kosmik. “Di tengah kemajuan teknologi yang mampu membawa solusi sekaligus ancaman, festival ini mengajak kita menumbuhkan kesadaran bahwa kecerdasan harus selalu berpijak pada hubungan dengan sesama dan alam,” ucapnya.
Masing-masing narasumber membocorkan hal-hal yang akan disampaikan dalam ajang tersebut. Penulis dan pengajar asal Bali, Ni Nyoman Ayu Suciarti, menegaskan peran UWRF sebagai platform penting bagi perkembangan sastra Bali.
“Saya akan meluncurkan buku berjudul Tutur Tantri di UWRF. Cerita ini saya tulis berangkat dari keresahan karena kisah-kisah tersebut kini jarang terdengar di kalangan anak-anak. Saya ingin mengalihwahanakannya ke dalam bentuk buku agar tetap hidup dan dapat diwariskan kembali,” paparnya.
Menurutnya, festival ini juga menjadi medium penting untuk memperkenalkan cerita-cerita Bali kepada anak muda, agar mereka tidak tercerabut dari budayanya.
Dalam festival nanti, penulis asal Karangasem ini juga akan tampil di sesi The Spirits Among Us: Demystifying Indonesia’s Everyday Supernatural, yang mengeksplorasi bagaimana keyakinan dan kebijaksanaan spiritual Nusantara menjadi landasan hidup, sumber kreativitas, dan cara memahami dunia modern.
Jero Penyarikan Duuran Batur mengatakan, perkara yang sangat gawat di Bali saat ini adalah bagaimana memahami kembali ritual-ritual yang ada. “Sesungguhnya, ritual-ritual di Bali sangat beririsan dengan alam,” sebutnya.
Dalam konteks kosmologi Bali sekarang, banyak yang sudah lupa akan hubungan antara hulu dan hilirnya. “Kita perlu kembali memahami situasi Bali yang kini berjalan apa adanya, padahal makna kedekatan dengan alam sesungguhnya sangat erat dengan dinamika sosial dan budaya.” ujarnya.
Beberapa program yang akan diisinya, antara lain The Living Universe: Ritual, Nature, and Art in Balinese Cosmology, yang membahas tentang hubungan antara tubuh, alam, dan kosmos dalam pemikiran Bali serta bagaimana pameran seni kontemporer merefleksikan dan menghidupkan kembali keterkaitan tersebut dalam konteks kehidupan modern.
Jero juga akan tampil dalam panel Water Rituals di program Climate Day, yang akan berlangsung tanggal 2 November 2025 di Bumi Kinar. Panel tersebut membahas bagaimana tradisi dan teknologi dapat bersinergi dalam upaya melestarikan dan menghormati air sebagai sumber kehidupan.
Sementara itu, Wayan Karja, penulis dan seniman Bali sekaligus mantan Dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Denpasar, menyampaikan “Orang Bali mewarnai hari-hari mereka dengan ritual.
Namun, bagaimana jika ritual hanya dimaknai sebagai rutinitas belaka? Upaya saya adalah mengembalikan kesadaran di balik ritual itu, bahwa di dalamnya ada nilai, ada makna, dan ada upaya manusia untuk terus terhubung dengan yang sakral.
“Hal inilah yang akan saya sampaikan dalam panel di UWRF nanti,” ujar Wayan Karja yang dikenal atas kiprahnya di dunia seni, sehingga telah menerima berbagai penghargaan, antara lain Satya Lencana dari Presiden Republik Indonesia dan penghargaan khusus dari politisi Jepang, Nakasone Yasuhiro.
Tahun ini, Sanggar Kerta Art, yang banyak memberikan kelas pengenalan tari Bali untuk anak-anak dan remaja, akan menampilkan pertunjukan bertema Maliang Liang pada Gala Opening Festival.
Komunitas Seni Lemah Tulis dari Singaraja akan menghadirkan pementasan Aguru Waktra: Reimagining Lontar Budha Kecapi di malam penutupan festival. Untuk pertama kalinya, festival juga menghadirkan Los Buku, hasil kolaborasi dengan patjarmerah, guna membawa buku-buku terbitan independen ke Bali.
Maestro tari topeng sekaligus akademisi, I Made Bandem, akan tampil dalam program Special Events bertajuk Masks of Bali: Between Heaven and Hell, menuturkan asal-usul serta warisan hidup dari tari topeng Bali.
Selain program utama, festival menghadirkan ratusan kegiatan gratis. Salah satunya adalah Climate Day, yang berlangsung di Bumi Kinar, dengan berbagai panel yang menyoroti bagaimana kearifan leluhur dapat menjadi pedoman dalam menentukan masa depan Bali.
Selain itu, pengunjung dapat menikmati Festival Club di sore dan malam hari, pemutaran film, pementasan teater, pembacaan puisi, serta lebih dari 35 peluncuran buku baru.
Janet DeNeefe, Pendiri & Direktur UWRF, menyampaikan tentang penyelenggaraan Climate Day. Melalui program ini, ia mengajak bersama-sama merayakan upaya kolektif menjaga bumi, dari aksi lokal hingga kesadaran global dengan menjadikannya acara gratis dan terbuka untuk semua.
“Kami berharap dapat menginspirasi dan menyerukan bahwa perlindungan iklim bukan milik segelintir orang, melainkan tanggung jawab bersama generasi sekarang dan mendatang,” ungkapnya
Selain itu, akan hadir lebih dari 200 program sepanjang 29 Oktober – 2 November di Ubud, Bali. Nama-nama Bali lain yang akan turut mengisi festival tahun ini antara lain Gus Dark, Made Bayak, Tan Lioe Ie, Kadek Sonia Piscayanti, Putu Juli Sastrawan, I Made Julio Saputra, Wulan Dewi Saraswati, Cokorda Ngurah Rupini, Bagus Ari Maruta, Anak Agung Bagus Wirawan, dan banyak lagi. [buda]


