DENPASAR, balitourismnow.com – Bali selalu berada dalam arus perubahan yang tak pernah berhenti. Sejak tahun 1920-an, ketika kapal-kapal Belanda membawa wisatawan dunia pertama kali singgah di pulau ini, Bali mulai dikenal sebagai surga eksotis yang menyatukan alam, seni, dan spiritualitas.
Kunjungan wisatawan saat itu bukan semata karena keindahan pantainya, tetapi karena daya tarik seni dan kebudayaan lokal yang begitu autentik. Lukisan, tari-tarian sakral, ritual keagamaan, serta kehidupan masyarakat agraris yang harmonis menjadi magnet yang memikat dunia.
Namun, ketertarikan itu lambat laun berubah menjadi industri pariwisata besar. Melalui berbagai proyek seperti Bali Tourism Project yang digagas oleh Bank Dunia pada tahun 1974, pariwisata Bali mulai dibangun secara terstruktur dan modern.
Proyek ini sebenarnya sudah dirancang sejak tahun 1969 dan dijalankan hingga 1984, dengan tujuan utama mengembangkan pariwisata internasional di Bali untuk meningkatkan devisa negara serta menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat lokal.
Salah satu wujud nyatanya adalah pembangunan Kawasan Pariwisata Nusa Dua, yang didanai oleh Bank Dunia pada tahun 1973. Kawasan ini dirancang sebagai model “resort enclave” wilayah wisata yang terpisah dari kehidupan masyarakat lokal, lengkap dengan hotel mewah, infrastruktur modern, dan sistem manajemen bertaraf internasional.
Tujuan proyek ini bersifat ganda: di satu sisi ingin menjadikan Bali sebagai ikon pariwisata dunia yang berdaya saing global; di sisi lain diharapkan membawa dampak ekonomi positif bagi masyarakat Bali.
Namun, dalam kenyataannya, model pembangunan enclave ini justru menciptakan pemisahan ruang sosial dan ekonomi antara kawasan wisata dan kehidupan lokal. Keuntungan besar dari pariwisata lebih banyak dinikmati oleh investor dan perusahaan besar, sementara masyarakat Bali sering kali hanya menjadi tenaga kerja di tanahnya sendiri.
Puncak ledakan pariwisata terjadi pada dekade 1990-an, ketika geliat ekonomi pariwisata melesat pesat. Seni dan budaya yang dahulu tumbuh dari nilai-nilai spiritual dan kebersamaan, perlahan berubah menjadi komoditas ekonomi.
Masyarakat Bali yang sebelumnya hidup dalam keseimbangan agraris dengan sawah, subak, dan kehidupan desa yang menopang praktik seni serta budaya mulai menghadapi perubahan nilai. Pertanyaan besar muncul: Apakah seni dan budaya Bali diciptakan untuk menjaga harmoni masyarakat, atau untuk melayani pariwisata?
Ledakan pariwisata memang membawa kemakmuran, tetapi juga memunculkan ketimpangan. Tragedi Bom Bali tahun 2002 menjadi titik balik yang mengguncang sendi-sendi ekonomi pariwisata. Dalam hitungan bulan, hotel, restoran, dan biro perjalanan gulung tikar. Namun setelah bangkit, arah pariwisata Bali mulai dikuasai oleh investor asing dan perusahaan multinasional. Uang dari sektor pariwisata banyak mengalir keluar negeri, sementara masyarakat lokal hanya menerima sebagian kecil dari hasilnya.
Kaum urban dari luar Bali mulai mengambil alih sektor-sektor strategis. Sementara masyarakat adat yang sibuk dengan aktivitas keagamaan dan adat, sering kali tertinggal dalam arus ekonomi baru. Produk-produk “oleh-oleh Bali” yang dijual massal mematikan banyak UMKM lokal. Harga karya seni lukisan, patung, dan kerajinan tradisional anjlok, tidak sebanding dengan jerih payah seniman. Banyak perupa dan pengrajin akhirnya beralih profesi menjadi tukang bangunan, sopir, atau pekerja pariwisata.
Pukulan berikutnya datang ketika pandemi COVID-19 melanda. Selama hampir tiga tahun, pariwisata Bali lumpuh total. Krisis ini menjadi revolusi besar dalam kehidupan masyarakat Bali. Banyak pelaku pariwisata terpaksa banting setir. Setelah pandemi, sistem digitalisasi pariwisata global memaksa pelaku lokal untuk mengikuti arus pasar daring yang didominasi platform internasional.
Harga-harga paket wisata diobral murah, dan keuntungan besar justru tersedot ke platform digital di luar Bali. Uang berputar sangat lambat di tingkat lokal, membuat banyak keluarga kesulitan memenuhi kebutuhan dasar bahkan muncul fenomena tragis meningkatnya angka bunuh diri, yang bisa jadi merupakan dampak sosial dari kesenjangan ekonomi ini.
Kini, Bali menghadapi tantangan besar: alih fungsi lahan pertanian, ketimpangan sosial yang kian nyata, dan degradasi budaya yang mengkhawatirkan. Kembali ke masa lalu tentu mustahil. Namun, kita masih memiliki peluang untuk menata masa depan.
Kita harus mulai membangun kebudayaan bukan semata untuk konsumsi wisatawan, tetapi untuk kehidupan hakiki masyarakat Bali sendiri. Seni dan budaya tidak seharusnya dipaksa menjadi pelayan industri, melainkan menjadi sarana memperkuat kesejahteraan batin, sosial, dan spiritual masyarakat.
Pembangunan budaya yang sejati adalah pembangunan yang berkelanjutan, yang memulihkan harmoni antara manusia, alam, dan spiritualitas sebagaimana diajarkan leluhur kita. Esensi kehidupan Bali yang sesungguhnya terletak pada keseimbangan, pada kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan zaman tanpa kehilangan jati diri.
Mari kita kembalikan semangat itu: menjadi masyarakat Bali yang mampu menyeimbangkan dunia modern dan digital dengan nilai-nilai tradisi, agar kemajuan bukan berarti kehilangan arah, dan agar kesejahteraan lahir sejalan dengan kelestarian jiwa kebudayaan Bali. [I Gede Made Surya Darma]


