MANGUPURA, balitourismnow.com – Brighters pariwisata di Bali adalah memberikan pelajaran dan pedidikan budaya kepada industri. Sebab, budaya merupakan aset utama dalam pariwisata, menciptakan daya tarik wisata, serta menjadi alat promosi dan pelestarian.
Apalagi, Bali berlandaskan pariwisata budaya. Maka itu, pemahaman budaya dapat membantu para Brighters mengelola pariwisata yang berkelanjutan, beretika, dan menghormati masyarakat lokal, dan menghindari potensi konflik budaya serta dapat meningkatkan kualitas pelayanan.
Sebut saja salah satunya Monarch Bali Dalung. Kampus Pelatihan dan pendidikan pariwisata yang terletak di Jl. Pandu No.27, Desa Dalung, Kec. Kuta Utara, Kabupaten Badung – Bali selalu mengimplementasikan budaya dalam setiap pembelajaran, juga kegiatan lainnya.
“Pembelajaran budaya ini diberikan sebagai upaya untuk menanamkan nilai-nilai budaya yang kuat sebelum terjun di dunia industry. Kekuatan pariwisata Bali adalah budaya,” kata Direktur Monarch Bali Dalung I Putu Rucita, SE., MM., CHT, Minggu 20 Oktober 2025.
Pada setiap melaksanaan perayaan hari suci, seperti Hari raya Saraswati yang di kenal sebagai hari turunya pendidikan yang adi luhung, lembaga pendidikan dibidang pariwisata selalu menyertai dengan kegiatan lomba-lomba antar program kejuruan.
Lomba itu biasa menjadi 32 kelas dari masing masing kejuruan, mulai dari lomba Ritjtavel masakan Bali, bagaimana mereka para Brighters membuat sate, lawar, balung dan lainnya. Semua itu di kemas dan di presentasikan ala modern sebagai bentuk kreatifitas para Brighters.
Walaupun dipresentasikan ala modern, namun tidak lupa dengan kekayaan khasanah kuliner Bali. Selain itu, juga menyelenggarakan lomba gebogan, lomba penjor, lomba busana adat Bali serta menggelar pentas seni tari dan tabuh yang disajikan secara khusus oleh para Brighters.
“Sebelum perkuliahan dimulai, kami mengawalai dengan sembahyang Trisandya secara serentak. Mahasiswa dari agama lainpun menyesuaikan,” papar pria yang memiliki pengalaman puluhan tahun di dunia pariwisata ini.
Para Brighters juga diajak menggunakan pakaian adat Bali setiap hari Kamis dan setiap rahina Purnama dan Tilem. Pada waktu tertentu, melaksanakan bhakti sosial pembersihan di tempat suci, seperti pura dan tempat wisata.
Bukan hanya itu, brigters atau mahasiswanya juga didorong untuk mencintai lingkungan dengan menanam tanaman upakara di areal kampus, seperti base merah, nyuh (kelapa) gadang, nyuh gading, bunga jepun. “Nilai budaya itu hotelier ditanamkan sejak mulai di kampus,” ucapnya.
Termasuk memiliki tari kebersaran “Acharya Cetta Saduwarti” mencirikan budaya Bali dan indentitas kampus. “Karena itu, tag line campus yaitu Competencies, Entrepreneurship, dan Culture,” ucap Rucita bangga.
Pengintegrasian Nilai Adat dalam Pendidikan di Monarch Bali Dalung memasukkan nilai-nilai adat Bali dalam pendidikan dan pelatihannya, seperti yang terlihat dari visinya untuk mencetak tenaga kerja yang tidak hanya kompeten tetapi juga berkarakter.
Monarch Bali Dalung menerapkan konsep Tri Hita Karana, yang merupakan filosofi hidup Bali yang menekankan keseimbangan dan harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan.
Penggunaan Simbolisme dan Maskot, yaitu LPK Monarch Bali Dalung menggunakan maskot Hamsa (Angsa) yang melambangkan kebijaksanaan, kesucian, dan ketegasan, nilai-nilai yang sejalan dengan ajaran Hindu dan adat Bali.
“Senyum sapa dan penampilan para Brighters sangat diutamakan. Salam dengan mencakupkan tangan panganjali sambil menyapa diikuti senyum. Ini penting menjaga keberlanjutan Bali sebagai destinasi dunia,” ungkapnya.
Rucita kemudian menegaskan, sangat penting Brighters pariwisata diberikan pelajaran budaya semasih di kampus. Budaya itu menjadi daya tarik unik dan sebagai Identitas lembaga, bahkan indentitas daerah yang bisa di jadikan standar dalam oeprasional.
Itu karena, budaya daerah itu tidak bisa di temukan atau di samakan dengan daerah lain bahkan budaya di jadikan sebuah destinasi daya tarik wisata, sehingga Brighter perlu memahaminya untuk mengembangkan produk pariwisata yang khas.
Brighters akan mendapatkan pemahaman lintas budaya, sehingga dapat membantu mereka saat melayani wisatawan dengan lebih baik, menghindari kesalahpahaman, dan meningkatkan kepuasan wisatawan.
“Ini akan mendorong pariwisata berkelanjutan, disamping menanamkan konsep pariwisata berbasis komunitas dan pengelolaan yang bertanggung jawab. Mereka dapat berkontribusi untuk ikut melestarikan budaya,” imbuhnya.
Sebab, mahasiswa akan dapat berperan aktif dalam melestarikan dan memperkaya budaya lokal, tidak hanya sebagai konsumen, tetapi juga sebagai agen pelestari warisan budaya. “Mereka akan berinteraksi langsung dengan beragam budaya,” sebutnya. [buda]


