Art & Culture

Patung Mother & Child Karya Ketut Putrayasa Berdiri Megah di Singapura: Kemampuan Orang Bali Membuat Patung Masih Tinggi

Sejak jaman dulu, orang Bali memang memiliki kemampuan dalam membuat seni patung. Karya seni tiga dimensi itu tak hanya dipajang di Pulau Dewata, tetapi juga dikoleksi oleh orang asing di luar negeri. Generasi seni membuat patung itu masih berlsngsung di jaman ini.

Lihat saja, patung “Mother & Child” karya I Ketut Putrayasa menghiasi salah satu kawasan di Mandai Wildlife Singapura. Patung karya seniman asal Desa Tibu Beneng, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Bali itu sebagai pengenalan generasi seni di Bali tak pernah putus, termasuk ajang promosi paiwisata.

Guru Besar Fakultas Pariwisata Unud, Prof. Dr. Drs. I Putu Anom, M.Par. mengatakan, seniuman Bali yang membuat patung di luar negeri itu tidak mutlak sebagai promosi pariwisata, tetapi sebagai gambaran Bali masih banyak memiliki produk patung.

“Ini juga sebagai bentuk pengenalan budaya. Bali sangat terkenal dengan produk patung, sehingga ini sebagai ajang untuk memperkenalkan bahwa kemampuan orang Bali membuat patung itu masih tinggi,” kara Prof. Anom melalui sambungan telp, Sabtu 15 Pebruari 2025.

BACA JUGA:  Tanah Lot Art & Food Festival 2025: Ajang Promosi Destinasi, Dimeriahkan Parade Budaya dan Legenda Kuliner

Tatang B.Sp, seorang pelukis dan pengamat seni yang tinggal di Denpasar mengatakan, patung “Mother & Child” sebagai karya patung yang hadir di ruang publik memiliki raison d’etre atau alasan kehadiran yang jelas.

Patung ini membawa pesan konservasi yang kuat, mengajak masyarakat untuk lebih peduli terhadap satwa yang semakin langka ini. “Mother & Child bukan sekadar representasi artistik, melainkan sebuah bentuk edukasi dan pengingat akan pentingnya perlindungan Trenggiling Sunda,” terang Tatang.

Karya patung ini berupaya mengabadikan pesan konservasi dalam seni itu, dilahirkan oleh seniman selalu berpenampilan nyentrik itu. Patung ini menggambarkan Trenggiling Sunda yang meringkuk dengan anaknya, sebuah metafora tentang perlindungan dan kehangatan keibuan.

Gaya dan bentuknya memang unik, berdiri megah dengan diameter 5 meter dan tinggi 3 meter. Trenggiling Sunda (Manis Javanica) adalah mamalia unik yang tersebar di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Singapura, dan Malaysia.

BACA JUGA:  5 Kelompok Teater Tampilkan Keungulan Berbeda: Dari Lomba Drama Modern Bulan Bahasa Bali VII

Keberadaannya kini terancam akibat deforestasi dan perdagangan ilegal, sehingga masuk dalam daftar spesies dilindungi oleh IUCN sejak 2016. “Seni memiliki peran besar dalam membentuk kesadaran kolektif,” sebut Tatang.

Melalui patung ini, publik tidak hanya menikmati estetika, tetapi juga diajak untuk memahami peran ekologis trenggiling dalam menjaga keseimbangan hutan tropis. Patung itu dibuat dari bahan kuningan dengan kerangka stainless.

Patung ini menghadirkan perpaduan antara kekokohan dan kelenturan. Sisik-sisiknya yang bertumpang-tindih menciptakan ilusi gerak, sementara warna kuningan menambahkan nuansa hangat.

“Karya ini bukan sekadar objek visual, tetapi juga menyimpan filosofi mendalam. Keindahan bentuknya selaras dengan pesan yang ingin disampaikan: menjaga keseimbangan alam adalah tanggung jawab kita bersama,” ujar Tatang serius.

BACA JUGA:  Layang-layang Menari di Langit Biru Pantai Padanggalak

Menueutnya, penempatan patung “Mother & Child” di Mandai Wildlife Singapura sangat tepat. Tempat ini sebagai kawasan konservasi menjadi landmark global, Mandai Wildlife memiliki visi untuk meningkatkan kesadaran terhadap keberagaman hayati dan pelestarian satwa liar.

Pemerintah Singapura bahkan menargetkan kawasan ini sebagai destinasi wisata konservasi terbesar di Asia. Seni publik memiliki potensi besar dalam menyuarakan isu-isu sosial dan lingkungan.

“Patung ini adalah ingatan yang diawetkan. Ia tidak hanya merepresentasikan trenggiling secara fisik, tetapi juga melestarikan nilai-nilai perlindungan dan kepedulian yang harus diwariskan kepada generasi mendatang,” tegasnya.

“Patung ini tidak hanya memperkaya estetika ruang publik, tetapi juga menjadi monumen bagi perjuangan konservasi, mengingatkan dunia bahwa setiap spesies memiliki hak untuk tetap lestari di bumi ini,” sebut Tatang mengakhiri pembicaraannya. [BTN/ana]

Shares: