Kuliner

Dapur Alit: Menghidupkan Kembali Budaya Jawa Kuno Lewat Ethnogastronomy

YOGYAKARTA, balitourismnow.com – Kalau sedang berwisata ke Yogyakarta, jangan lupa mampir ke Dapur Alit. Restoran yang dekat dengan akar tradisi itu beralamat di Tuntungan UH III No. 1079, Tahunan, Umbulharjo, Kota Yogyakarta.

Dapur Alit ini lahir di tengah arus modernisasi yang kerap menggerus nilai budaya. Karena itu, sebagai destinasi EthnoGastronomy, Dapur Alit membawa kembali nilai luhur Jawa Kuno ke pengalaman bersantap. Dapur Alit, buka setiap Senin – Sabtu, pukul 12.00 – 22.00 WIB.

Dari halaman rumah sederhana di Yogyakarta, restoran ini mengusung konsep intimate dining yang hangat dan autentik, menjadikan setiap sajian bukan sekadar hidangan, melainkan karya budaya yang mengajak pengunjung menyelami warisan leluhur Nusantara.

“Berawal dari perjalanan saya di Bali dan mempelajari Lontar Dharma Caruban, Dapur Alit berdiri atas kesadaran bahwa setiap bahan makanan memiliki jiwa dan layak dihormati sebelum diolah,” kata pemilik, Cilik Tripamungkas melalui pesan WA, Kamis 11 September 2025.

BACA JUGA:  37 Tahun Perjalanan Squeeze: Tawarkan Varian Baru, Berdayakan Petani Lokal

Wanita yang memiliki pengalaman bekerja di hotel di Bali ini menjelaskan, filosofi ini menjadi napas bagi seluruh pengalaman bersantap, di mana memasak tidak hanya meramu rasa, tetapi juga merawat jiwa dan menghormati alam semesta.

Cilik meyakini, dengan pendekatan Ethno-Gastronomy Jawa Kuno, Dapur Alit menghadirkan pengalaman kuliner berbasis riset sejarah yang menggali prasasti Jawa Kuno, naskah kuno, dan relief candi, lalu menginterpretasikannya menjadi sajian modern tanpa kehilangan nilai spiritual dan simbolik.

Menu highlight

Menu andalan seperti Nasi Watukura, terinspirasi dari Prasasti Watukura tahun 902 Masehi yang mencatat upacara kerajaan di era Mataram Kuno, dihidupkan kembali dengan harmoni rempah dan bahan lokal.

Salah satu menu andalan Dapur Alit/Foto: dok.dapur alit

Sementara itu, Nasi Paripurna, berdasarkan Prasasti Jru-Jru tahun 930 Masehi dari Singosari, menghadirkan hidangan nasi lengkap dengan lauk pauknya, mencerminkan filosofi kelimpahan dan keseimbangan.

BACA JUGA:  Sanur Chef Community, Kekuatan Baru Dunia Kuliner Kota Denpasar

“Kreasi minuman juga tak kalah, seperti Jonggrang Signature Drink dan Arupadhatu Drink memperkaya pengalaman bersantap, memadukan rempah dan bunga dengan simbolisme spiritual dari legenda dan arsitektur candi,” tambahnya gembira.

Menariknya, gerabah yang digunakan di Dapur Alit bukanlah sembarang gerabah. Piring gerabah dibuat secara khusus oleh para pengrajin di Dusun Klipoh, Karanganyar, Borobudur, sebuah desa yang telah mewarisi tradisi pembuatan gerabah selama berabad-abad.

Cilik meyakini, tanah di kawasan Borobudur memiliki energi dan kualitas yang istimewa, tidak hanya karena berasal dari endapan mineral subur gunung-gunung di sekitarnya, tetapi juga karena kawasan Borobudur telah menjadi pusat doa dan peradaban spiritual selama ratusan tahun.

Setiap piring gerabah yang digunakan tidak sekadar berfungsi sebagai wadah, tetapi juga bagian dari pengalaman bersantap. Teksturnya yang alami, warna tanahnya yang hangat, dan ukiran relief Tantri Kamandaka serta Pancatantra menjadikan setiap sajian seolah menyimpan cerita.

BACA JUGA:  Ida Bagus Rai Budarsa: Sanur Chef Community Tingkatkan Kualitas Masakan Bali di Tingkat Internasional

Wisatawan internasional, Anna Kooi yang juga peneliti makanan dan chef asal Amsterdam memberikan testimoni, memperkuat daya tarik restoran ini.

“Storytelling-nya luar biasa, rujukan pada mitologi kuno, hubungan dengan alam, serta fabel-fabelnya sangat menarik. Rasanya halus, seimbang, penyajiannya indah, dan intim. Ini pengalaman gastronomi yang unik,” ujarnya.

Dapur Alit kini menjadi pionir Ethno-Gastronomy Jawa Kuno, memadukan riset sejarah, filosofi budaya, dan seni kuliner menjadi satu perjalanan rasa yang otentik. Restoran ini adalah jendela untuk mengenal Jawa dari perspektif berbeda, melalui makanan, nilai luhur, dan cerita. [buda]

Shares: