Art & Culture

Mang Tri Ray Dewantara Pentaskan ‘Dancing With Marya’ di 2025 Tainan Arts Festival

DENPASAR, balitourismnow.com – Penampilan Mang Tri Ray Dewantara dalam ajang 2025 Tainan Arts Festival di Yong Kang Social Education Center, Taiwan, tak hanya menjadi penanda penting dalam perjalanannya sebagai koreografer, tetapi juga alat promosi Bali yang efektif.

Sebagai koreografer muda asal Bali, Mang Tri – sapaan akrabnya, mempersembahkan karya terbarunya “Dancing with Marya” di hadapan masyarakat dunia dalam ajang festival yang berlangsung pada Minggu, 26 Oktober 2025 itu.

Saat itu, karya Dancing with Marya yang diproduksi Mang Tri bersama Mulawali Institute itu ia tampil menari bersama arsip, menyelaraskan tubuhnya dengan arsip yang menampilkan I Ketut Marya tahun 1931 yang direkam oleh seniman Meksiko Miguel Covarrubias.

Sajian Dancing with Marya itu menunjukkan kekayaan budaya yang unik dan menarik bagi masyarakat dunia. “Karya ini menjalin kerja sama dengan Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia melalui program Manajemen Talenta Nasional (MTN) Seni Budaya,” kata Mang Tri.

BACA JUGA:  ‘Denyar Renjana’ Jadi Atraksi Wisata: Pameran Lima Seniman Perempuan Indonesia di Santrian Art Gallery Sanur

MTN Seni Budaya itu merupakan program prioritas nasional yang menjaring, mengembangkan, dan mempromosikan talenta seni budaya Indonesia, serta menghubungkannya dengan peluang pengembangan dan akses pasar di tingkat nasional maupun global.

Mang Tri mempersembahkan karya Dancing with Marya itu setelah intens menelusuri jejak tari Bali melalui riset dan penciptaan. Karya ini kemudian dipresentasikan dalam 2025 Tainan Arts Festival, sebagai bagian dari program internasional festival tersebut.

Sebelumnya, Dancing with Marya telah dipentaskan dalam Kunstenfestivaldesarts pada tahun yang sama di Brussel, Belgia, dan mendapat perhatian atas pendekatannya yang reflektif terhadap sejarah tari Bali.

Karya ini berangkat dari penelusuran kritis terhadap arsip Kebyar Duduk–tari yang diciptakan oleh I Ketut Marya (I Mario), tokoh legendaris yang dikenal karena improvisasinya terhadap irama gamelan kebyar yang dinamis dan penuh energi.

BACA JUGA:  Film Pendek ‘Purusa: Wedding Sacred’ Karya Sineas Bali Meriahkan Gwangju Women’s Film Festival ke-16 di Korea Selatan

Seiring perjalanannya ke berbagai konteks internasional, Dancing with Marya juga menjadi bagian dari upaya memperluas ruang pertemuan antara seniman Indonesia dan dunia.

“MTN Seni Budaya, khususnya dukungan Rekognisi Internasional, saya pahami sebagai bagian dari kerja kebudayaan yang hadir sebagai upaya mendorong percakapan agar praktik tari dari Indonesia dapat dibaca,” ucap Mang Tri.

Selain dapat dibaca, lanjut Mang Tri, praktik tari dari Indonesia ini juga dapat dipertemukan dan dipercakapkan dalam konteks global yang sering kali memiliki cara pandang sendiri terhadap ‘tradisi’.

Mang Tri yang menari bersama arsip itu, ia menghubungkan dua horizon waktu–masa kolonial dan masa kini–untuk menelusuri bagaimana Kebyar Duduk dibentuk oleh pandangan Barat sekaligus oleh mekanisme internal di Bali sendiri, terutama melalui pendidikan dan pariwisata yang menuntut “keaslian” dan “pakem.”

BACA JUGA:  Jimbaran Culture Festival: Dimeriahkan Budaya Mage Gebog dan Lomba Ogoh-ogoh

Pertunjukan ini bermula sebagai performance lecture dan berkembang menjadi pengalaman tubuh yang hidup. Dengan menari di antara arsip dan imajinasi, Mang Tri berupaya menghidupkan kembali tari yang selama ini membeku dalam dokumentasi dan institusi.

Saat Mang Tri menghadirkan Dancing with Marya itu, benar-benar sebagai ruang reflektif untuk membayangkan ulang bagaimana tubuh dapat menjadi medium sejarah, arsip, sekaligus perlawanan terhadap fiksasi bentuk.

Di samping diproduksi bersama Mulawali Institute, lembaga interdisipliner berbasis di Bali yang berfokus pada riset dan penciptaan pertunjukan, Dancing with Marya itu juga dikoproduksi oleh Indonesian Dance Festival dan 2025 Tainan Arts Festival.

“Melalui Dancing with Marya, saya berupaya menafsir ulang arsip tari Bali–khususnya Kebyar Duduk–sekaligus mengundang penonton untuk menyaksikan bagaimana arsip dapat bernapas kembali melalui tubuh penari dengan menghadirkan pertemuan yang cair antara masa lalu, masa kini, dan kemungkinan masa depan,” ungkap Mang Tri. [buda]

Shares: