MANGUPURA, balitourismnow.com – Seniman Ubud, I Wayan “Nano” Sudarna Putra kembali hadir melalui medium yang paling ia kuasai, yaitu seni instalasi. Karya itu menghiasi program Bisik Basa Basi bertema Risau di Abian Carik, Desa Kapal, Badung, Sabtu 6 Desember 2025.
Nano menampilkan karya ikoniknya, “Not For Sale” yang kembali mendapat apresiai penikmat seni. Karya itu tak hanya mengetengahkan nilai keindahan, tetapi sarat dengan pesan. Dorongan serta ajakan terasa begitu kental dalam karya kali keduanya ini.
I Gede Made Surya Darma, pelukis dan seniman performance asal Apuan, Tabanan memberikan apresiasi terhadap karya seni Not For Sale itu. Karya Nano itu seakan hadir untuk mengingatkan semua orang, dimana Bali yang biasa disebut Pulau Surga berada di dalam titik krusial.
Selama ini, Bali sering dipasarkan ke dunia sebagai “surga” pulau kecil yang entah bagaimana mampu memuaskan jutaan wisatawan setiap tahunnya. Namun di balik gemerlap itu, suara masyarakat lokal kian teredam.
“Dibalik industri pariwisata, tersimpan ketegangan mendasar: siapa sebenarnya yang berhak menentukan arah dan masa depan pulau ini?” kata Surya Darma mencoba menafsirkan karya “Not For Sale” di tengah sawah ruang yang menjadi akar agraris Bali dan kini berada di garis tembak alih fungsi lahan itu.
Surya Darma mengatakan, karya ikoniknya “Not For Sale” berupa instalasi dibangun dari bambu dan alang-alang material yang dipilih bukan sekadar karena terjangkau, tetapi sarat makna: simbol perlindungan, pemurnian, dan penjaga keseimbangan dalam kosmologi Hindu Bali.
“Dengan bahasa sederhana, namun tajam, karya ini menegaskan, bahwa “Sebelum sawah menjadi komoditas, ia adalah ruang suci”,” ucapnya serius.
Menurut Surya Darma, Not For Sale merupakan karya seni yang menggugat laju perubahan Bali. Nano ingin menggugah kesadaran bahwa yang terancam bukan hanya tanah fisik, tetapi fondasi esensial Bali, seperti identitas kultural, pengetahuan agraris, sistem sosial subak dan ruang spiritual masyarakat Bali.
“Not For Sale bukan proyek tunggal. Sejak 2010, Nano telah menciptakan instalasi serupa di Jungjungan, Ubud wilayah yang kini telah berubah menjadi koridor wisata padat. Karya ini sempat viral, menarik perhatian publik selama beberapa tahun,” imbuhnya.
Karya ini menolak normalisasi pembangunan tanpa kendali; menolak gagasan bahwa pariwisata adalah dewa yang harus dipatuhi tanpa syarat. Bagi Nano, pariwisata hanyalah bonus, bukan tujuan utama eksistensi Bali. Tanpa budaya dan alam yang lestari, pariwisata kehilangan alasan fundamentalnya untuk ada.
Surya Darma juga melihat di dalam karya Not For Sale menggambarkan kendali pariwisata yang beralih ke algoritma global. Jika dulu perubahan Bali dikendalikan pemerintah dan investor tradisional, kini muncul kekuatan yang lebih halus dan meresap: platform digital global.
Airbnb, Booking, Agoda, TripAdvisor, Klook, Traveloka, dan ratusan aplikasi lain beroperasi melalui algoritma yang menentukan secara factual, mulai dari harga akomodasi dan jasa, arus dan sebaran wisatawan, destinasi yang tiba-tiba popular, pengalaman yang dianggap “menjual” dan citra Bali di mata dunia.
Mekanisme ini memang efisien, tetapi konsekuensinya jelas. Siapa yang menguasai platform, ia yang memegang kendali. Pelaku usaha lokal harus tunduk pada ritme dari luar, seperti komisi aplikasi, perang diskon global, sistem ulasan yang bias, tren pasar yang fluktuatif, dan biaya hidup yang terus meningkat.
Ironisnya, platform ini tidak mengenal ngayah, tidak memahami struktur banjar, tidak peduli pada sistem subak, dan tidak mengetahui Galungan. Bali modern pun menjadi ironi: mereknya mendunia, tetapi kendalinya tidak lagi sepenuhnya di tangan orang Bali.
Meneguhkan Batas: Kedaulatan di Tanah dan Digital
Karya seni “Not For Sale” ini seungguhnya menjadi ruang renungan publik, sebuah penanda batas. Instalasi ini mengingatkan bahwa Bali sedang kehilangan ruang fisik sekaligus ruang digital.
Seni ini menyuarakan realitas, yaitu petani kalah oleh logika jual-beli tanah, sistem subak terhimpit ekspansi, Bali tampak cantik di Instagram, tetapi rapuh di dunia nyata, serta tanah yang dijual bukan sekadar aset, melainkan masa depan budaya.
Sebagai sebuah karya seni Not For Sale menjadi sirene peringatan, bahwa panggilan untuk berhenti sejenak sebelum Bali bertransformasi menjadi panggung di mana tubuhnya lokal, tetapi skenarionya ditulis dari luar pulau.
Karena itu, kedaulatan digital menjadi tugas baru bagi Bali. Sebab, Bali tidak bisa berhenti hanya pada tanah dan budaya. Di era platform ini, diperlukan kedaulatan digital melalui platform pariwisata lokal yang berstandar internasional, dikelola profesional dan transparan.
Selanjutnya, terintegrasi dengan budaya, agrikultur, dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) local serta mengembalikan pendapatan dan kendali ke Bali.
“Ini bukan anti-globalisasi, tetapi pro-kemandirian. Seperti bambu Nano yang tegak di tengah sawah, platform lokal adalah cara lain untuk berkata: Bali berhak mengatur dirinya sendiri,” ujarnya.
Diakhir pembicaraannya, Surya Darma menegaskan, karya Nano itu juga menegaskan bahwa tanah ini bukan komoditas, tetapi identitas.
“Not For Sale” lebih dari judul karya; ia adalah pernyataan politik, spiritual, dan ekologis. Tanah Bali telah menanggung terlalu banyak beban: spekulasi properti, tekanan pariwisata masif, hingga dominasi algoritma global.
“Nano itu mengingatkan, jika Bali terus dikendalikan dari luar, masyarakat lokal akan tetap menjadi kru panggung penting, namun tak pernah menentukan cerita. Maka, saatnya Bali kembali memegang kendali, di tanah, di budaya, dan di ruang digital,” tutup Surya Darma. [buda]


