GIANYAR, balitourismnow.com – Ubud Writers & Readers Festival akan berlangsung pada 29 Oktober – 2 November 2025. Kali ini festival sastra terkemuka di Asia Tenggara yang pekasanaannya ke 22 kalinya ini mengangkat tema “Aham Brahmasmi – I am the Universe”.
“Kurang dari delapan bulan menuju Festival, kami mengumumkan tema tahun ini, Aham Brahmasmi, yang mengajak kita untuk merenungkan keterhubungan mendalam antara diri dan alam semesta,” kata Pendiri dan Direktur Festival, Janet DeNeefe, Kamis 6 Maret 2025.
Festival sastra yang digelar Yayasan Mudra Swari Saraswati ini menghadirkan para penulis, penyair, dan pemikir di Ubud, jantung budaya Bali, untuk program selama 4 hari mencakup diskusi penulis, panel diskusi, pertunjukan musik, pembacaan puisi, santap sastra, pembacaan larut malam, lokakarya, dan masih banyak lagi.
“Festival ini akan mengeksplorasi Aham Brahmasmi, sebuah konsep Sansekerta dari kearifan Hindu kuno yang berasal dari Brihadaranyaka Upanishad,” jelas Janet DeNeefe serius.
Itu diterjemahkan sebagai “I am the Universe”, konsep ini menandakan kesatuan antara diri manusia dengan alam semesta atau kekuatan kosmik tertinggi, serta mengakui bahwa setiap individu memiliki potensi kreatif yang sama dengan alam semesta itu sendiri.
Konsep Homo Deus, Manusia Dewa, manusia diproyeksikan berevolusi menjadi ‘dewa’ melalui kemajuan teknologi. Tema menjadi semakin relevan dengan berkembangnya teknologi yang tidak hanya menawarkan solusi bagi tantangan global, tetapi juga membuka kemungkinan untuk kontrol dan kehancuran.
Kesadaran akan Aham Brahmasmi mengajarkan bahwa kecerdasan, betapapun canggihnya, harus selalu berpijak pada kesadaran dan keterhubungan dengan sesama serta alam semesta.
“Pertanyaannya, dapatkah kebijaksanaan dan inovasi berjalan beriringan demi kebaikan bersama? Ataukah kita justru sedang menuju era ketidakseimbangan, di mana kemajuan teknologi melampaui pertumbuhan moral dan spiritual kita?” tanya Janet DeNeefe.
Desainer grafis, Aldilla Laras menerjemahkan tema festival melalui kolase mencolok yang menggabungkan makhluk mitologi Bali kuno dalam komposisinya. Melalui latar belakang ungu tua, karya ini dilapisi dengan lontar bertuliskan tema aksara Sansekerta.
Semua itu dikurasi bersama penulis Bali, Carma Mira, dari Program Studi Jawa Kuno, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana. “Saya ingin para penonton berinteraksi dengan karya ini secara perlahan dan reflektif, mengenali bentuk lontar, menguraikan tulisan Sansekerta, dan secara bertahap mengungkap makna mendalamnya,” ujar Aldilla Laras.
Aldilla Laras kemudian berharap para pengunjung festival akan merasakan bahwa karya ini mencerminkan perjalanan mereka dalam mengeksplorasi Festival. “Secara pribadi, saya sangat tidak sabar untuk merasakan atmosfernya, dan sebagai seorang pembaca sejati, saya punya firasat kuat bahwa saya akan pulang dengan tangan penuh buku juga,” imbuhnya.
Janet DeNeefe menambahkan festival ini membuka kesempatan bagi para penulis di Indonesia dan sekitarnya untuk mengajukan karya terbaru mereka dalam Program Peluncuran Buku. Para penulis terpilih akan mendapatkan kesempatan istimewa untuk mengadakan sesi peluncuran buku yang terbuka untuk publik, serta mendapatkan dukungan promosi pra-acara.
Penulis dapat mengetahui lebih lanjut tentang program ini dan mengajukan karya mereka di sini – batas akhir pengiriman adalah 2 Mei 2025. “Empat hari penuh dengan percakapan yang menggugah bersama para pemenang penghargaan sastra, aktivis pemberani, dan jurnalis terkemuka menanti,” ujarnya.
Pada saat matahari terbenam, akan ada perayaan pertunjukan, pembacaan, dan karya tulis dalam berbagai bentuknya, tepat di jantung Ubud. Jadi, tandai kalendernya dan bersiaplah untuk terinspirasi, ditantang, dan diubah,” pungkas Janet DeNeefe. [rls]


