Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) tahun 2024 akan menghadirkan deretan figur nasional dan internasional untuk membahas tantangan-tantangan besar yang dihadapi saat ini. Festival yang dinantikan para pecinta sastra, akan berlangsung pada 23-27 Oktober 2024.
“UWRF tahun ini mengangkat tema, ‘Satyam Vada Dharmam Chara: Speak the Truth, Practice Kindness’,” kata Pendiri & Direktur UWRF, Janet DeNeefe dalam konferensi pers yang diselenggarakan di The Dharmawangsa Jakarta.
Setelah perayaan 20 tahun UWRF tahun lalu, ingin melanjutkan kesuksesan dengan menghadirkan program-program yang lebih ekletik lagi sambil menawarkan visi yang berani untuk masa depan.
“Kami juga bangga dapat menyorot penulis, seniman, pemikir, dan penampil dari Indonesia, dengan harapan bahwa suatu hari dunia juga akan mengakui bakat mereka seperti yang kami lakukan,” lanjut Janet DeNeefe.
Antusiasme terus meningkat bagi festival yang menjanjikan pengalaman transformatif bagi peserta ini, memperkuat reputasinya sebagai salah satu perhelatan sastra terkemuka di Asia Tenggara.
Para penulis pemenang penghargaan, jurnalis terkemuka, dan komentator politik akan berpartisipasi di lebih dari 200 program yang beragam untuk mendorong dialog, menginspirasi perubahan, dan memperkuat komunitas sastra, baik di tingkat lokal maupun global.
“Salah satu hal yang membuat UWRF lebih istimewa dibanding festival sastra lainnya adalah karena UWRF konsisten menghadirkan penulis kelas dunia. Misalnya saja, tahun ini ada Maria Ressa, jurnalis asal Filipina pemenang Nobel Peace Prize,” kata Ratih Kumala, novelis dan penulis buku ‘Gadis Kretek’ ini.
Ada juga Amitav Ghosh penulis asal India yang baru dianugerahi Erasmus Prize 2024. “Banyak penulis dunia dan penulis Indonesia yang akan hadir, dan dari merekalah kita akan berjejaring serta belajar melalui sesi di UWRF bulan Oktober ini,” ujar Ratih Kumala.
Penulis ternama Indonesia yang akan hadir, yakni Dee Lestari yang meluncurkan karya barunya yang sangat personal, Tanpa Rencana. UWRF akan memberikan penghormatan 100 Tahun Pramoedya Ananta Toer dalam sebuah panel khusus yang menghadirkan penulis, Soesilo Toer.
Tak kalah menarik, adaptasi Don Quixote karya Miguel de Cervantes oleh Goenawan Mohamad akan merayakan pemutaran perdana dunianya di festival ini, menghadirkan perspektif baru tentang novel klasik ini dengan memadukan wayang golek Indonesia dengan elemen artistik modern.
Dari deretan pembicara internasional, Atef Abu Saif, Mantan Menteri Kebudayaan Otoritas Palestina, akan turut hadir dan menawarkan perspektif yang langka dan jujur dari Gaza. Aktivis dan pengacara hak asasi manusia Sara M. Saleh akan mengeksplorasi tantangan yang dihadapi perempuan di zona konflik.
Sementara penulis disiden dari Myanmar, Ma Thida, akan membahas perjuangan negaranya dan hubungan kompleks antara perbatasan, migrasi, dan hak asasi manusia.
Novelis dan aktivis Indonesia Ayu Utami juga akan tampil di UWRF, bersama dengan penulis asal Korea Selatan dan Nomine Booker Prize 2022 Bora Chung, aktivis Papua Barat Esther Haluk, serta pakar geopolitik asal Inggris Ben Bland.
Dalam konferensi pers UWRF, ia menekankan relevansi dan dampak UWRF, terutama dalam lanskap sosial, politik, dan budaya Indonesia yang terus berkembang.
Ade Mulyono, seorang penulis muda dari Jawa Tengah, turut membagikan perspektifnya sebagai salah satu dari sepuluh penulis yang terpilih untuk Program Emerging Writers UWRF, menyoroti dampak program tersebut terhadap karier menulisnya.
Diadakan sejak tahun 2008, program ini telah menjadi tonggak dalam menemukan bakat sastra muda Indonesia dan memperkenalkan mereka ke kancah sastra regional dan internasional.
Selama beberapa minggu terakhir, para penulis terpilih telah mengikuti bimbingan dan lokakarya. Puncaknya, karya-karya mereka akan diterbitkan dalam antologi dwibahasa dan diterbitkan di UWRF bulan Oktober ini.
Pada konferensi pers, Agustinus Wibowo membahas karya terbarunya, Kita dan Mereka, serta memimpin masterclass eksklusif saat festival. “UWRF bukan hanya pertemuan kaum intelektual, tetapi juga merupakan persinggungan spiritual,” ucapnya.
Jadi antara perjalanan fisik dan perjalanan ke dalam diri. “Ini yang rasa-rasa festival yang sangat lengkap, dan merupakan cara untuk penulis Indonesia menyampaikan suaranya ke kancah global,” ucapnya. [BT/*/lan]