TABANAN, balitourismnow.com – Ketika lewat di depannya, sepintas Rumah Desa yang ada di Desa Baru, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, Bali itu tidak beda jauh dengan rumah-rumah warga lainnya. Itu, memang karena rumah warga desa di sana juga.
Bedanya, Rumah Desa itu sering dikunjungi wisatawan domestik, dan wisatawan mancanegara yang jumlahnya lebih banyak. Utamanya, wisatawan Eropa yang didominasi dari Prancis. Tiap hari, selalu saja ada kunjungan wisatawan, namun jumlahnya yang tidak menentu.
“Saat ini musim sepi, sehingga jumlah kunjungan itu sekitar 5 – 20 tamu, tetapi berbeda kalau sudah musim ramai, jumlah kunjungan bisa mencapai 50- 100 tamu,” kata pendiri sekaligus pemilik Rumah Desa, I Wayan Sudiantara, Rabu 19 Maret 2025.
Sudiantara menerima para tamu itu dengan konsep Bali yang telah diwariskan oleh para leluhur di Bali secara turun-temurun. Artinya, tamu yang datang, seperti bertamu di rumah keluarganya sendiri. Sebab, setelah tiba, mereka langsung dipersilahkan duduk di Jineng yang damai.
Jineng adalah bagian dari bangunan tradisional di Bali yang digunakan sebagai tempat penyimpanan padi (lumbung), dan dipercaya memberikan aura positif. “Datang dari jalan raya, harus duduk di Jineng, sesuai dengan filosofi dan ajaran leluhur tempo dulu,” ucapnya.
Sudiantara kemudian mengenalkan tamu atraksi wisata dengan menerapkan Tri Hita Karana, konsep dalam agama Hindu yang mengajarkan umat manusia untuk menjaga hubungan harmonis dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam. Itu keunggulannya.
Pertama, tamu diajak untuk mengenal kehidupan orang Bali yang diawali dengan memperkenalkan keluarga sendiri. Lalu, mengenal dan belajar arsitektur rumah Bali, sesuai konsep Asta Kosala Kosali. Mulai dari, merajan bale daja, bale dangin, dapur dan lainnya.
Setelah hubungan spiritual (hubungan manusia dengan Tuhan) berjalan maka dilanjutkan dengan hubungan mansuia dengan manusia dengan mengajak mereka mengikuti kehidupan orang Bali seperi memasak, membuat jajan, nyanyah kopi (proses buah kopi menjadi bubuk).
Kegiatan membuat canang (banten persembahan), nanusin (membuat minyak kelapa secara tradisional), membuat boreh (obat tradisional, lulur), membuat basa genep (bumbu lengkap ala Bali), hingga menyurat Aksara Bali di atas daun lontar (menulis di atas daun lontar).
Sudiantara sangat antusias mengenalkan tamu membuat basa genep. Mulai dari memperkenalkan basa genep untuk bahan ayam betutu. Mereka mengikuti aktifitas dari awal, dari memilih bumbu, meracik bumbu, hingga memasak dengan cara tradisional.
Aktivitas itu, diawali dari mengenalkan bumbu dengan bahasa Bali, mulai dari menyebut kesuna (bawang putih), cekuh (kencur), isen (lengkuas) hingga lengis tanusan (minyak kelapa). “Rumah Desa dikemas untuk mengenalkan budaya Bali kepada dunia,” sebutnya.

Semua kegiatan yang dilakukan itu, seperti kebiasaan orang Bali yang melakukan kegiatan sosial, menyama braya di rumah penduduk. Aktivitas ini pula menyuguhkan jajan Bali kepada tamu, seperti orang Bali yang setelah matulungan (aktivitas sosial) disuguhkan jajan Bali.
Atraksi terbaru, yakni “Tangga Gallety”, sebuah ruang seni bagi para seniman di Tabanan, khususnya dan Bali umumnya. Di samping memberikan atarksi wisata melalui pameran seni, ruang ini juga msebagai tempat pertunjukan seni yang sejuk.
Program selanjutnya, tentang persawahan atau agriculture sesuai konsep hubungan manusia dengan alam. Konsep ini untuk menjaga alam ada. “Alam sudah memberikan kita, maka kita harus perlakukan alam dengan baik,” jelasnya.
Artinya, manusia harus rajin ke sawah karena sudah memberikan segala makanan. Maka, tamu diperkenalan aktivitas petani mulai dari mengolah lahan, membajak sawah dengan sapi, hingga panen. Semua pengenalan itu dilengkapi dengan upacara yang ada.
“Kalau sawah sudah terjaga, maka kita tidak akan kekurangan asupan energy, makanya sawah harus tetap terjaga. Dan sebagai rasa bentuk syukur, tamu kemudian diajak makan siang bersama dengan menu khas tradisonal Bali yang mereka masak sebelumnya,” lanjutnya.
Membangun desa dengan Rumah Desa
Sudiantara mengaku, Rumah Desa ini mulai dibangun sejak 2009. Ia memilih pensiun sebagai guide (pemandu wisata) agar lebih fokus membangun desanya. Ia mengembangkan potensi desa dan daerahnya untuk bisa dikembangkan menjadi destinasi wisata.
Rumah Desa yang dibangun di lahan seluas 1,2 hektare. Bangunan yang ada, dibangun seperti biasa dengan ukiran yang tidak terlaku dominan, lebih berkonsep ke bangunan sederhana. Namun, rumah ini dijaga kebersihan dan kerapiannya, ditata apik, sehingga terasa lebih nyaman.
Lahan yang dimilikinya itu, dibagi dalam beberapa kawasan untuk tempat mengenalkan aktifitas masyarakat Bali secara tradisional. Di bagian depan, tempat untuk membuat boreh dan canang, kemudian bagian kedua (tengah) dijadikan tempat untuk menyurat aksara Bali.
Kemudian di bagian belakang barulah digunakan untuk menyiapkan tempat belajar memasak membuat base genep hingga membuat lengis tanusan. Aktifitas ini, mendapat perhatian para tamu, sehingga orang dari berbagai belahan dunia itu mengikuti secara antusias.
“Tujuan saya, hanya ingin mengenalkan atau mengeksplorasi kegiatan masyarakat Bali sehari-hari kepada wisatawan. Ini adalah budaya kita, sehingga saya ingin kenalkan kepada masyaralat dunia sekaligus menjaga kelestarianya,” papar Sudiantara.
Walau telah menyiapkan beberapa guide untuk memandu para wisatawan melakukan aktifitas wisata itu, Sudiantara terkadang terlibat dalam memandu tamu. Itu sudah menjadi keseriausannya dalam mengelola Rumah Desa. [ana]