Anak-anak yang sedang “ngambar” atau mengambar satua Bali menjadi atraksi wisata budaya menarik bagi wisatawan. Lihat saja, sepasang wisatawan mancanegara yang sedang jalan-jalan di Taman Budaya Bali, tempat lomba itu digelar terpesona dengan kreativitas anak-anak menggambar.
Mereka mengamati seluruh perserta yang melantai di Lantai Bawah Gedung Ksirarnawa itu. Sama seperti pengunjung lainnya, ia terus berjalan memutari areal lomba untuk melihat satu persatu gambar merupakan karya anak-anak setingkat SD se- Bali itu.
Wimbakara (Lomba) Ngambar (menggambar) Satua Bali serangkaian dengan Bulan Bahasa Bali (BBB) VII itu berlangsung, Rabu 5 Pebruari 2025. Sebagian besar, karyanya memang menarik, maka tak heran wisatawan asing itu tersenyum setelah menyaksikan karya para siswa.
Idenya juga menarik. Ada yang menggambar monyet yang mirip seperti Kera Sakti yang betugas mencari Kitab Suci ke barat, ada Cangak Maketu idenya dari cerita Tantri, dan tokoh-tokoh dalam Cerita Selat Bali.
Dewan Juri, Prof. Dr. Drs. I Wayan Karja, MFA mengatakan, anak-anak setingkat SD ini memiliki teknik dan menawarkan ide yang sangat menarik. Mereka mermiliki keterampilan teknis yang terus berkembang, bahkan mengalami perkembangan sangat jauh.
“Kemampuan untuk mengolah bahan sangat menarik, dan melukis semakin cepat. Kepekaan mereka semakin kelihatan. Jujur, saya melihat ada peningkatan yang bisa dilihat dari hasil gambar mereka,” ucap dosen ISI Denpasar ini.
Gerak tangan yang cepat itu, bukan tak beraturan. Justru sangat lembut, terkadang halus bahkan dengan penuh rasa. Mula-mula menggerakan pensil, lalu krayon, hingga kuas dan lap tangan yang penuh perhitungan.
“Kalau dilihat dari proses yang dilakukan sampai saat ini, mereka cendrung diinspirasi dari gambar-gambar sebelumnya. Baik itu, dari melihat buku-buku atau tempat lain, sehingga ada pengulangan dari unsur cerita,” ucapnya.
Menariknya, karya-karya mereka cenderung dipegaruhi seni digital. Semisal pengaruh seni animasi yang sangat kelihatan. Kalau kembali pada jaman dulu, apa yang kita lihat maka itu yang dibuat, dan apa yang dilukis sebelumnya itu pyla yang dibuat.

Beda dengan anak-anak ini mereka sudah melakukan penggabungan dengan hasil teknologi jaman sekarang ini. Hal tersebut tampak kentara dari gaya gambarnya. Entah mereka terinspirasi dari melihat, dari menonton atau melihat buku.
Seperti itulah yang dilakukan anak-anak di jaman ini. “Itu karena, mereka menjadi anak jamannya sekarang. Mereka tampak kreatif dengan menggabungkan gaya tempo dulu dengan gaya di jaman mereka saat ini,” tegas pria asal Penestanan Ubud ini.
Satu hal yang membuat Prof. Karja sangat bangga adalah kemampuan dari anak-anak yang tidak takut menggunakan bahan. Kalau dulu, mungkin takut karena bahannya mahal dan susah didapat. Sekarang mereka bebas sekali menggambar tanpa memikirkan bahan.
Itulah yang menarik dalam lomba ini. Prof. Karja sangat merindukan dari proses menggambar ini. Cara bagaimana mereka menangkap tema. Bagaimana tema diberikan itu bisa menjadi bahan stimulant buat mereka. Artinya, mereka menangkap tema dengan baik.
Menurutnya, anak-anak ini memang sudah menangkap tema, tetapi lebih cendrung ke havalan. Apa yang dilihat sebelumnya dari buku, komik atau digital, itu yang ia ambil. “Hal ini yang perlu dikembangkan adalah kecepatan menangkap tema itu,” usulnya.
Kalau untuk membuka kreativitas dan wawasan, tambah Prof. Karja, maka kecekatan dalam menangkap tema itu yang menjadi kunci. Lomba menggambar satwa Bali ini bukan hanya melukis, tetapi ada persiapan sejak awal, mulai membaca cerita.
Lalu menulis cerita, sehingga nantinya bisa membuat sinopisis, sehingga ajang ini akan menjadi semakin komplit, yakni menggambar bisa, menulis bisa, menghayalkan suatu cerita bisa dengan cepat. Maka proses mengenal aksara, sastra dan bahasa akan dilalui.
Menurutnya, menggambar ini hanya sebagai pintu masuk secara visual, karena dari melihat itu akan bisa menulis cerita dan menceritakan. Ini penting untuk melestarakan budaya, karena Bali tak hanya mermiliki budaya visual, tetapi memiliki budaya cerita malah bisa menjadi drama.
“Sebab, media seni rupa itu tak hanya kertas dan krayon serta keterampilan, tetapi ini sebagai dasar pintu masuk untuk berkembang di dunia sastra dan bahasa,” paparnya.
Kepala Bidang Sejarah dan Dokumentasi Kebudayaan I Made Dana Tanaya mengatakan, lomba ini sebagai salah satu cara untuk memotivasi anak-anak kita mengeluarkan ide dan gagasan, dan khusus dalam pelaksaaan BBB ini untuk meningkatkan kreativitas seni.
“Jumlah peserta yang hadir sangat antusias dan sangat siap mengikuti ajang lomba ini. Para peserta ini melakukan pendaftaran secara online yang hampir semuanya memiliki bakat dalam bidang seni khususnya menggambar,” paparnya.
Menurut Dana Tanaya, lomba menggambar ini sengaja mengangkat satwa (cerita) Bali sebagai upaya mengenalkan aksara, sastra dan bahasa Bali kepada anak-anak sejak dini. Untuk mendapatkan ide, mereka mesti terlebih dahulu mendengar, melihat dan membaca cerita, baik itu cerita bergambar atau cerita lainnya. [BTN/ana]