DENPASAR, balitourismnow.com – Sudah mengunjungi pameran “Puan dan Bumi” di TAT Art Space Denpasar Bali? Pameran digelar Rupa Bali yang melibatkan 15 perupa Indonesia berbasis di Bali dan Lombok itu menyajikan karya-karya kreatif dengan gaya menarik, serta syarat pesan.
Pameran ini telah dibuka Jumat, 26 April 2025, dan menjadi perayaan hari-hari perempuan di bulan Maret dan April, serta sekaligus dalam rangka ulang tahun TAT Art Space yang ke-3 bertepatan di Hari Bumi. Pameran “Puan dan Bumi: Detak yang Seirama” hingga10 Mei 2025.
Sebanyak 15 perupa Indonesia, yaitu: Amadea Mairina, Ameylia Kurniawati, Caitlin Eveanna, Dewa Ayu Sakania Pradnya Aristi, Dinda Mahadewi, Gusti Kade, Ida Ayu Gayatri Pradnya Kumala, I Made Anju Adi Toganata, I Wayan Cahya Sunarbawa, Ni Nyoman Ayu Suti Aryani, Ni Wayan Niken, Reevo Saulus, Thania Aprila Sukendy, Tiarama dan Umah Yuma.
Rupa Bali terdiri dari Ni Wayan Penawati, Pradnya Paramita, dan Savitri Sastrawan merasa penting mengangkat tema “Puan dan Bumi: Detak yang Seirama”. Rupa Bali hadir sebagai ruang arsip dan percakapan melalui media podcast dan kurasi kecilnya.
“Di sinilah proses kerja penciptaan karya seni hingga cerita kelokalan dari tokoh-tokoh budayawan dan seniman direkam, dibuka kembali, dan dikisahkan ulang terutama cerita-cerita penting yang layak diwariskan secara turun-temurun,” kata Savitri Sastrawan.
Pertiwi merupakan perpaduan puan dan bumi yang dikenal selama ini. Pertiwi merupakan konsep yang sudah ada sejak lama. Mau bagaimana pun akar dari kehidupan kita ada pada elemen tanah, air, udara, api yang semua datang dari perpaduan Pertiwi.
“Ia adalah cerminan dari – sumber kehidupan, kesuburan, keberlangsungan hidup, dan pemberdayaan perempuan (women empowerment). Maka tema yang rasanya genting diangkat di tengah sosial masyarakat yang berkelindan saat ini,” jelas Savitri Sastrawan.
Melalui tema itu, para perupa ini kemudian menyajikan berbagai cerita menarik diekspresikan dalam pameran ini, dan menawarkan sudut pandang yang beragam mengenai isu perempuan, alam, dan keterkaitannya.
Niken menyajikan karya tentang pentingnya peranan perempuan dalam kebudayaan dan perdamaian yang disimbolkan oleh gadis Tenganan dan seekor merpati. Karya Thania, Caitlin, dan Anju menampilkan peranan ibu dan bumi sebagai sumber penghidupan yang mengayomi.
Ayu Suti menggunakan delima sebagai simbol kesuburan dan siklus kehidupan. Tekanan budaya patriarki yang dihadapi perempuan hingga saat ini juga direspon oleh beberapa perupa, antara lain Dinda, Amadea, dan Yuma.
Dinda melukiskan dunia alternative dimana perempuan terlepas dari ikatan patriarki. Karya Amadea berawal dari kekesalannya melihat objektifikasi perempuan. Sedangkan Yuma menginterpretasikan ibu bumi dalam wujud yang lebih magis dan juga menghadirkan perspektif seorang ibu yang kerap kali dihakimi serta disakiti dalam masyarakat patriarki.
Permasalahan yang dialami oleh perempuan juga tercermin pada ibu pertiwi. Carut-marut permasalahan lingkungan dan bencana alam divisualkan oleh Sakania. Namun, pesona alam juga menginspirasi beberapa karya perupa, seperti karya “Bun-bunan” Gus Ade dan tipografi Reevo Saulus.
Ameylia mengeksplor tekstur alam dan relevansinya dengan kehidupan, dimana ada halus, kasar, asimetri, dan spontanitasnya dalam karya tekstil. Gytprd memvisualkan ritme alam dalam cipratan dan goresan bernuansa tanah yang ekspresif.
Sementara itu, Tiarama mengulik kesamaan antara air yang mengalir di alam dengan air mata perempuan. Pada akhirnya, manusia, hewan, dan tumbuhan saling terikat dalam ekosistem bumi yang tidak terpisahkan, seperti yang dapat dilihat pada karya Cahya.
“Elaborasi pameran kali ini juga menghadirkan zine akses ke Podcast dan Wander kami yang mengangkat tema yang senada. Kami berharap pameran ini dapat menjadi perayaan dan pengingat atas keberadaan kemanusiaan kita,” ucapnya.
Savitri Sastrawan kemudian berharap, “Puan dan Bumi: Detak yang Seirama” yang merupakan kumpulan ekspresi teman-teman pekerja seni muda dapat menjadi pengarsipan baru dalam menghadapi masa yang akan datang. [ana]