Hari ini, masyarakat Hindu di Bali merayakan Hari Raya Tumpek Landep, tepatnya Sabtu 22 Pebruari 2025. Maka jangan heran, kalau melihat kendaraan atau mobil berisi banten, sarana upacara hari raya tersebut. Umat, juga banyak melakukan persembahyangan di pura.
Namun, berbeda halnya dengan Gede Suanda a.k.a. Sayur. Seniman lulusan lulusan Institut Seni Indonesia itu justru merayakan Tumpek Landep dengan membuat karya seni lukis bertajuk “Rahajeng Tumpek Landep”. Karya ini, sangat menarik, namun syarat pesan.
“Lukisannya yang berjudul “Rahajeng Tumpek Landep” karya Gede Suanda itu melukisan seorang pemangku yang sedang melakukan upacara terhadap benda sakral berupa keris dan mobil bertumpuk tiga,” kata I Gede Made Surya Darma, sorang guide yang juga perupa, Jumat 21 Pebruaru 2025.
Di era tahun 1990, siapa yang tak kenal keindahan alam Ubud. Walaupun saat itu, Bali sudah ada industri pariwisata di beberapa tempat di Ubud yang masih asri. Misalnya saja, di Desa Junjungan. Sawah yang melintang begitu indah.
Sawah itu, menjadi salah satu daya tarik pariwisata untuk menikmati keindahan alam. Udara pun masih segar. Para petani masih terlihat melakukan aktivitas pertanian dengan penuh suka cita. Anak-anak desa memanfaatkan suasana sawah itu dengan melakukan berbagai aktivitas.
Ada yang menuntun ratusan bebek di sepanjang jalanan, ada yang membawa rumput untuk ternak, di beberapa gubuk sapi seniman ukir sedang membuat patung kayu, ada yang sedang melukis, serta anak kecil begitu gembira mencari belalang, belut dan capung.
Sayangnya, 10 tahun belakangan ini, Ubud nyaris tidak bisa menyelamatkan sawah dari gempuran pembangunan villa dan hotel, dampak dari jomplangnya hasil pertanian dan kebutuhan hidup. Sawah-sawah itu terus saja menghilang menjadi bangunan beton.

Namun apa daya, industri pariwisata berkembang begitu masif dan sekarang ini sangat jarang ada bentangan sawah yang begitu luas di daerah Ubud. Di beberapa bagian, sudah di bangun villa maupun hotel. Hanya ada beberapa petak sawah yang masih ada aktivitas pertaniannya.
“Melihat fenomena itulah yang membuat Gede Suanda merasa gelisah. Sebagai seniman yang terlahir di kawasan agraris di Desa Jungjungan, ia kemudian mengabadikan fenomena ini mulai karya seni lukis,” papar Surya Darma.
Tentu, pembaca tidak asing lagi dengan sosok seniman ini. Dulu sawahnya pernah viral di tahun 2014. Gede Suanda pernah menancap sawahnya dengan tulisan yang begitu besar dengan kalimat “Not For Sale”.
Hal itu merupakan kerja sama dengan seniman, yang juga merupakan lulusan ISI Jogjakarta jurusan seni lukis, yakni I Wayan Sudarna Putra. “Keduanya ini adalah seniman asli Ubud, yang gigih menyuarakan perubahan yang ada dengan karya seni untuk Bali kedepanya,” imbuhnya.
Sekarang, salah satu lukisan yang dibuat oleh Gede Suanda menggambarkan susana upacara Tumpek Landep. Tumpek Landep merupakan salah satu upacara yang lumrah dilakukan orang Bali, untuk memberikan persembahan upacara terhadap benda sakral berupa keris.
Lambat laun, upacara ini dilakukan juga kepada peralatan yang berbahan dasar besi yang menunjang kehidupan masyarakat Bali dalam mencari nafkah, seperti kendaraan berupa motor dan mobil, peralatan pertanian, peralatan bengkel, maupun peralatan lainya.

“Dalam lukisannya yang berjudul Rahajeng Tumpek Landep ini, Gede Suanda melukisan seorang pemangku yang sedang melakukan upacara terhadap benda sakral berupa keris dan mobil. Lukisan mobil bertumpuk tiga, ia ingin menyuarakan lahan yang kini begitu sempit.
Termasuk suasana kemacetan Ubud yang begitu parah akibat dari dan perkembangan pariwisata. “Fenomena sumpeknya Ubud, yang begitu berdesakan di antara orang melaksanakan kegiatan upacara dan hiruk pikuknya wisatawan, dilukiskan dengan jenaka dan satir dengan media akrilik di atas kanvas,” paparnya.
Surya Darma menambahkan, di beberapa bagian kanvas pada lukisan tersebut juga dilukisakan suasana melasti. Sementara dibidang lain, ada orang yang sedang bertani di sawah dengan suasana padi yang baru ditandur.
Di atas tanaman padi tersebut, dilukiskan wisatawan yang sedang rebahan, berjemur di kursi panjang dan kasur terapung dengan memakai bikini. “Suasana yang campur aduk sangat berbanding terbalik dengan suasana sakral keagamaan yang sedang berlangsung di Bali, yaitu sedang merayakan upacara Tumpek Landep,” ucapnya.
Di bidang lain, terdapat dua orang lelaki yang sedang susah payah menggendong babi sebagai bahan upacara dan konsumsi umat Hindu dalam rangkaian kegiatan adat dan keagamaan. Di pojok kanan bawah ada seorang pemangku yang sedang melakukan upacara Tumpek Landep.
Pemangku itu, dengan penuh konsentrasi melapalkan mantra dan membunyikan genta. Di depannya dilukiskan keris itu sampai berdiri. Lukisannya seolah ingin mengungkapkan suasana kontradiktif Bali.
Masyarakat Bali begitu kentalnya mempertahankan tradisi yang sebagian adat dan budaya ini di bangun secara swadaya. Namun, para investor asing yang tidak bersentuhan secara langsung dengan adat tradisi Bali, hanya berkonsentrasi mengambil keuntungan dari peluang pariwisata dan budaya ini.
Kegelisahan Gede Suanda merespon situasi melalui lukisannya ini disbabkan karena ia merasa banyak yang hilang dari Pulau Bali ini. Kenangan masa kecilnya sirna. Dulu sawah baginya adalah tempat bermain bersama teman-temanya.
Entah mencari belut, menangkap capung, beternak itik, atau sesekali memperhatikan burung yang hinggap di sawah. Di masa kecilnya, Sayur belajar mensketsa menggunakan daun pisang atau kulit kelapa muda yang di toreh dengan lidi yang runcing, maupun pisau.
“Sawah bagi Gede Suanda, selain merupakan sumber ketahanan pangan masyarakat Bali, juga merupakan ruang belajar sambil bermain,” jelas Surya Darma mengakhiri percakapannya. [BTN/ana]