GIANYAR, balitourismnow.com – Dalam dunia pariwisata di Bali, bahkan Indonesia, keberadaan kesenian Legong Gaya Peliatan memegang peranan penting. Sebab, sejak 1931 kesenian yang memiliki keunikan itu sempat tampil di luar negeri, tepatnya dalam kegiatan Expo.
“Legong Keraton Gaya Peliatan menjadi salah satu pertunjukkan pada L’Exposition Coloniale Internationale De Paris (Paris Expo) tahun 1931,” kata Anak Agung Gede Oka Dalem saat menjadi pembicara dalam diskusi panel di Open Stage, Agung Rai Museum of Art (ARMA), Sabtu 8 Maret 2025.
Peristiwa kebudayaan ini menjadi salah satu yang mempengaruhi popularitas Bali sebagai destinasi wisata dunia dikemudian hari. Setelah itu, banyak lagi serangkaian tour Internasional yang dilakukan oleh Alm. A.A. Gde Mandera dan para seniman tabuh Peliatan lainnya.
Diskusi bertajuk “Gema Kreasi Kumara Çanti Gotraja” diinisiasi oleh Sekaa Teruna (ST) Kumara Çanti Gotraja, Banjar Tengah, Desa Peliatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar dalam rangka memyambut Hari Ulang Tahun (HUT) ST Kumara Çanti Gotraja.
Diskusi digarap sangat kreatif. Sebab, acara tersebut tak hanya membicarakan tentang Legong khas Peliatan, tetapi juga dibarengi dengan pratek dengan menghadirkan para tokoh seniman Tari Legong gaya Peliatan.
Anak Agung Gede Oka Dalem merupakan putra tokoh Legong Peliatan, Alm. A. A. Gde Mandera memaparkan munculnya Tari Legong itu diperkirakan pada abad ke – 19, pada masa pemerintahan I Dewa Agung Made Karna dalam Babad Dalem Sukawati.
I Dewa Agung Made Karna bermimpi melihat dedari (bidadari) menari di sorga yang begitu indah. Raja kemudian memerintahkan Bendesa Ketewel untuk membuat beberapa topeng yang mencerminkan bidadari dari mimpi itu.
Oka Dalem mengatakan, topeng itu masih ada, dan sekarang disimpan di Pura Payogan Agung Ketewel. I Gusti Ngurah Djelantik kemudian menggubah topeng bidadari itu menjadi tari Nandir yang dibawakan oleh laki-laki tanpa menggunakan topeng.
Pada pemerintahan I Dewa Agung Manggis dari Raja Gianyar kemudian memerintahkan I Dewa Rai Perit untuk menata tari yang saat ini lumrah disebut Legong. Tari legong itu ditarikan oleh anak-anak perempuan mulai dari umur 10 tahun.
Anak-anak yang masih belia itu memiliki kelenturan tubuh, sehingga dapat membentuk tubuh penari legong yang diharapkan,” kata Oka Dalem dalam diskusi yang mengundang peserta dari unsur pemerintah negeri, swasta, kelompok masyarakat, dan kalangan umum se-Desa Peliatan dan sekitarnya.
Anak Agung Gede Oka Dalem mengatakan, munculnya label Peliatan pada tari Legong yang berkembang adalah salah satu pengaruh dari sosok maestro Desa Peliatan, yaitu Alm. A. A. Gde Mandera dan Alm. Gusti Made Sengog.

Berdasarkan cerita yang berkembang, nafas-nafas dan agem dari Tari Legong disesuaikan ulang oleh Alm. A. A. Gde Mandera dan Alm. Gusti Made Sengog, sehingga melahirkan ciri khas gerakan yang lambat laun menjadi Legong Keraton khas atau gaya Peliatan.
Setelah diskusi, dilanjutkan sharing pengalaman dan demonstrasi daya tari oleh para tokoh seniman senior Tari Legong gaya Peliatan, seperti Anak Agung Arimas (1950), Desak Putu Widikencanawati (1960), Anak Agung Raka Astuti (1965), Jro Puspa Nurini (1965), Anak Agung Sri Utari dan Jro Sulasih serta Ni Wayan Sriati penari legong di tahun 1970.
Para peserta diskusi, tak hanya menyaksikan persamaan dan perbedaan tari legong sesuai dengan penari di jamannya itu, namun dapat menikmati bentuk pelestarian yang dilakukan oleh generasi-generasi muda berbakat.
Selanjutnya, ajang seleksi yang menampilkan para penari legong berbakat untuk memilih tiga grup yang paling berbakat. Kemudian dibina, lalu mencari satu grup yang akan dipentaskan pada puncak HUT ST Kumara Çanti Gotraja.
Tak hanya diskusi seni tari, tetapi juga Tabuh Palegongan gaya Peliatan yang menghadirkan pembicara Gusti Ngurah Sukra dan Cokorda Bagus Wiranata dan dimoderatori oleh I Wayan Sudiarsa. Kegiatan ini yang bertautkan budaya sebagai bentuk penghormatan bagi para leluhur.
Anak Agung Raka Astuti (1965), Jro Puspa Nurini (1965), Anak Agung Sri Utari dan Jro Sulasih serta Ni Wayan Sriati penari legong di tahun 1970. Menyaksikan penampilan para penari legong lintas generasi itu memberikan pembelajaran seni tari klasik bagi generasi muda.
Para peserta diskusi, tak hanya menyaksikan persamaan dan perbedaan tari legong sesuai dengan penari di jamannya itu, namun dapat menikmati bentuk pelestarian yang dilakukan oleh generasi-generasi muda berbakat. Selanjutnya moment seleksi tari legong anak-anak.
Seleksi ini menampilkan para penari cilik legong berbakat yang kemudian diseleksi untuk memilih tiga grup yang berbakat. Kemudian dibina, lalu mencari satu grup yang akan dipentaskan pada puncak HUT ST Kumara Çanti Gotraja.
Untuk diskusi ke dua, mengangkat materi Tabuh Palegongan gaua Peliatan yang menghadirkan pembicara Gusti Ngurah Sukra dan Cokorda Bagus Wiranata. Sementara I Wayan Sudiarsa sebagai moderator.
Pendiri dan owner ARMA Museum, Agung Rai mengatakan, diskusi budaya ini bagian dari misi ARMA untuk berinteraksi dengan lingkungannya. ARMA memfasilitasi masyarakat lingkungan, sehingga tak hanya turis yang berkunjung ke museum, tetapi juga masyarakat local.
Karena itu, di ARMA Museum ada sanggar tari anak-anak dan remaja. Hal ini sebagai cara untuk memasyarakatkan museum secara pelan-pelan. “Sejak ARMA berdiri sudah memfasilitasi berbagai kegiatan untuk dilakukan di Museum,” kata Agung Rai.
Kegiatan ini penting sebagai cara untuk berinteraksi, sehingga membuat orang senang. Ada yang melukis, menari, memainkan gamelan, membuat video dan kegiatan seni lainnya, sehinga pengunjung mendapat manfaat untuk pendidikan moral.
Program ini sebagai cara untuk membina Sumber Daya Manusia (SDM) dalam hal berkreasi. Diskusi Legong dan Tabuh Palegongan Gaya Peliatan ini, pertama melestarikan apa yang telah dicapai oleh orang orang desa, bahkan hingga ke mancanegara, seperti Paris.
Sementara guru-gurunya berklaborasi dengan penari berbagai daerah, seperti ada dari Buleleng, Tabanan, Singapadu, Badung dan lainnya serta didukung oleh masyarakat. “Inilah wujud dari berkolaborasi itu,” paparnya.
Perbekel Desa Peliatan, I Made Dwi Sutaryanta mengatakan, Peliatan memiliki banyak budaya, baik itu warisan budata tak benda ataupun yang sedang dikembangkan, dan ada bebarapa yang tak berlanjut.
Sebut saja pada saat melakukan upacara makalan-kalan, ada tradsisi “meanyud-anyudan. Tradisi ini dari sisi agama itu masih lestari, namun dilakukan di kamar mandi bukan di tukad (sungai). “Kalau 40 tahun lalu, tradisi ini dilakukan di sungai,” ucapnya.
Desa Peliatan selalu memikirkan tentang budaya dan mempertahankan khasanah budaya, sehingga mulai bergerak. Meanyud-anyudan sudah kembali. Akses ke sungai yang dulu hilang, kini sudah ada. Sungai sudah bersih dari sampah plastik, sehingga meanyud-anyudan lestari.
“Ini sebagai usaha mempertahankan budaya. Apalagi sekarang, palegongan diangkat kelompok anak muda yang mau berbicara tenatng budaya. Anak-anak setingkat SD juga dilibatkan, sehingga ini bagus sekalu dalam upata pelestarian budaya,” imbuhnya.
Ketua panitia, I Gede Werdi Putra Kesumayasa mengatakan, kegiatan ini bertautan dengan budaya merupakan bentuk penghormatan bagi para leluhur di generasi sebelumnya. Warisan yang adi luhung itu penting diperkenalkan kepada generasi muda.
“Bukan dulu, bukan nanti, tetapi sekaranglah waktu yang tepat untuk kita berkontribusi bagi Desa, utamanya untuk para leluhur kita. Kalau bukan karena jasa leluhur terdahulu, tidak mungkin Peliatan akan harum namanya seperi sekarang ini,” ungkapnya.
Menurutnya, Program Gema Kreasi Kumara Çanti Gotraja ini sudah dimulai dari Januari diawali dengan sepak bola antar banjar di Desa Peliatan. Besok, digelar musik di Lapangan Garuda di Desa Peliatan, dan puncaknya HUT bertepatan dengan Hari Raya Ngembak Geni.
Diskusi ini digelar karena Legong Peliatan sebagai pionir dalam memperkenalkan budaya Bali ke luar negeri. “Tetua kami di Peliatan, sebelum kemerdekaan Indonesia sudah melakukan pementasan di luar negeri dimulai sejak tahun 1931. Maka, melalui diskusi ini kami berharap akan mempu membentuk penari-penari muda,” harapnya. [ana]